Teruslah berani melangkah dan capailah mimpi dan impianmu

Kamis, 16 Mei 2013

Tatapan Ujung Senja



Di ujung senja dia menatap tajam. Gadis kecil itu berdiri diam dengan dress putih yang jatuh di bawah lututnya. Rambutnya terurai panjang dengan bando putih yang menghiasnya.  Perlahan melangkah  meniti jalan kecil berbatu. Ketika begitu dekat dengannya, sorot cahaya menerpa semuanya. Anak itu menghilang. Matapun terbuka.
Cahaya matahari mengintip dari belahan korden jendela kamar. Sinar lembutnya persis jatuh di dahi Diya. Beranjak dari tidur dan melirik jam weker yang ada di meja samping kasurnya. Derap langkah kaki menuju kamar mandi. Matanya masih sayu walaupun percikan air telah membasahi wajahnya. Kemeja putih dengan jeans hitam terlihat rapi dikenakannya. Pantulan dirinya terlihat jelas pada cermin. Rambutnya dikuncir ke belakang. Diya memulaskan pelembab di wajahnya dan menaburkan bedak tipis. Sentuhan terakhir mengoleskan lip balm pada kedua lembar bibirnya. Diya mengambil tasnya beranjak keluar dari kamar.
Diya mulai menyantap sepotong roti dan segelas susu di hadapannya. Ibu duduk di sampingnya. Tidak ada percakapan. Tatapan matanya syahdu terhadap anak semata wayangnya.
“Ingat Diya jangan ngebut di jalan.” Diya mengangguk sebagai jawaban. Sebelum pergi Diya selalu mencium tangan dan kedua pipi sang ibu.
Diya tersenyum. Lewat daster batik yang ia pakai, wanita itu tetap berdiri di teras rumah memastikan Diya pergi dan ketika pulang dia akan berdiri menunggu kedatangannya. Begitu tulus dan  hangat cinta seorang ibu.
***
Selama kuliah berlangsung, pikirannya teralihkan dengan mimpi yang dialaminya akhir-akhir ini. Mimpi itu selalu sama. Diya selalu bertemu gadis kecil itu. Mencoba menghapal garis-garis wajahnya. Namun wajah itu tidak bisa terlukiskan dalam ingatannya. Begitu samar bagai dipeluk kabut.
Sepulang kuliah Diya pergi ke toko buku langganannya yang berada di kawasan dekat kampus. Diya mengambil sebuah novel sastra dan membaca sinopsis yang ada di belakangnya. Sesekali dia menengok dunia luar yang sibuk dan padat tiada hentinya.
Pandangan Diya kini tertuju pada satu arah. Sosok gadis kecil itu ada di hadapannya. Anak itu berdiri di trotoar seberang jalan tempatnya berada. Sepasang mata memandang tepat ke dalam matanya. Diya mencoba menajamkan penglihatannya. Kini Diya menyakinkan dirinya bahwa ini bukan ilusi tapi sebuah kenyataan.
            Sesaat Diya menebarkan pandangannya  ke jalan-jalan yang membelah kota. Di sana, di atas aspal licin bagaikan kaca, anak itu malah beranjak dari tempatnya.
“Tunggu...”
            Tubuh kecil itu terlihat menusuri trotoar pinggiran jalan. Jarak diantara mereka berdua tidak begitu jauh. Diya tidak putus asa, dia terus mengikuti gadis kecil itu. Hingga sebuah pertigaan jalan jejak itu menghilang.
            Matanya tengah sibuk mencari keberadaan anak itu. Hanya sebuah tempat pembuangan sampah yang terlihat pada sudut jalan kecil yang sepi. Seorang laki-laki berumur tengah sibuk memilah sampah-sampah dengan tongkat kayu yang ditangannya. Kemudian memasukannya ke dalam keranjang bambu di punggungnya yang belum separuhnya terisi. Pakaiannya lusuh dengan kaki dilapisi sandal jepit yang mulai rusak. Wajahnya terlihat kusam tidak terawat.
            “Permisi, apa bapak melihat anak kecil lewat sini?”
            Ia menghentikan gerakan tangannya. Bapak itu hanya diam. Matanya menatap Diya yang sedang menunggu sebuah jawaban. Cukup lama mereka saling bertatapan.
            “Tidak ada...” jawabnya singkat. Suara parau keluar dari mulutnya.
            Terlihat sedikit kekecewaan di wajahnya. Diya berjalan kembali pulang. Sesekali dia  menengok ke belakang, bapak itu masih berdiri memandangnya dari kejauhan. Diya sempat risih dan mempercepat jalannya.
Beberapa hari kemudian, sosok itu kembali muncul dihadapannya. Anak itu berdiri di bawah pohon mahoni besar di tepi jalan raya. Diya mencoba mendekatinya namun dia selalu menjauh. Kejar-kejaran tidak bisa terhindari. Disaat begitu dekat, jejak itupun segera menghilang. Hanya tersisa seorang bapak yang mengais sampah disela-sela rerumputan. Laki-laki yang sama ia temui sebelumnya. Mata mereka sempat bertemu namun Diya segera mengalihkannya. Benaknya diliputi setumpuk tanda tanya.
***
Di ujung senja gadis kecil itu duduk di ayunan yang tergantung pada pohon rindang. Rambut panjangnya terbang oleh angin yang berhembus menghantam tubuhnya. Ayunan itu tiba-tiba terhenti begitu saja. Diya tepat berdiri dihadapannya.
“Apa maksud dari semua ini?”
Iris matanya berwarna cokelat. Kedua alisnya tebal. Wajahnya putih bersih tanpa ada sedikit kotoran yang melekat pada kulit halusnya. Anak itu hanya diam. Kedua matanya hanya tertuju pada perempuan yang  memiliki warna mata yang sama dengannya.
“Darahnya mengalir dalam dirimu.”
Seketika Diya terhempas dalam sebuah kenyataan. Kedua mata Diya terbuka. Mimpi itu seolah terlihat nyata. Diya masih dalam posisi tidur. Tubuhnya masih tertutup oleh selimut tebal yang membungkusnya. Diya terkapar lemas dengan wajahnya yang pucat dan penuh keringat, matanya semu merah. Suhu tubuhnya tinggi.
. Jerit batinnya ingin segera bergerak namun terhenti oleh tubuhnya yang tidak mampu melakukannya. Hanya waktu yang bisa memulihkannya. Diya hanya bisa menunggu.
 “Apa ibu masih ingat kapan pertama kali mengadopsiku?”
Keheningan memecah diantara mereka berdua. Ibu menoleh sebentar pada ayah yang ada di muka pintu kamar.  Ayah hanya mengangguk kecil.
“Saat itu kamu masih kecil. Usiamu baru beranjak 2 tahun. Pertama kali melihatmu, kami berdua langsung yakin memilihmu untuk mengisi kehidupan kami yang penuh akan penantian seorang anak. Kau hadir dan membahagiakan hidup kami.”
“Menurut ibu, apa kedua orangtua kandungku telah membuangku?”
Ibu sempat terkejut dengan lontaran yang Diya keluarkan.
“Orangtua mana yang ingin membuang anaknya. Pasti ada alasan dibalik semua ini. Kau tidak boleh berpikiran sempit seperti itu.”
 “Apakah aku patut membenci mereka selama ini?” Tiba-tiba air matanya mengalir pelan.
Ibu segera menarik tubuh Diya ke dalam pelukkannya. Dia tidak bisa membiarkan anaknya menangis menahan keperihan yang sangat mendalam.
“Kau tidak boleh membencinya. Ingat merekalah yang melahirkanmu. Maafkan ibu, seandainya ibu tahu keberadaan mereka, semua tidak akan seperti ini.”
Tangisan Diya tak tertahankan.
***
            Gadis kecil itu selalu hadir dalam mimpinya. Namun, Diya mencoba untuk menghapus semua ingatan tersebut dan menenangkan pikirannya. Siapa sangka anak itu kembali muncul dihadapannya. Diantara kerumunan orang pasar yang silih berganti dengan kesibukannya masing-masing. Anak kecil itu masih bisa terlihat jelas oleh kedua matanya. Anak itu mulai melangkah balik menjauh dari dirinya. Diya mencoba menahan kedua kakinya untuk tetap berada disini. Namun tidak bisa. Sekali lagi Diya mengayunkan langkahnya. Pertanyaan itu masih belum terjawab.
            Busur matanya menerobos orang-orang yang dilewatinya. Berharap dapat menangkap anak itu dari kejauhan. Diya mulai memasuki suatu gang kecil. Diya berhenti tepat dimana jejak anak itu kembali menghilang. Sebuah rumah kecil beratap rumbai dedaunan kering. Rumah berdinding batu setengah triplek. Sedangkan lantainya hanya beralaskan tanah. Halaman kecilnya tertutupi oleh barang-barang bekas tidak layak pakai. Seorang bapak sedang duduk di teras rumah sembari membersihkan beberapa gelas aqua plastik dan memasukannya ke dalam karung putih kusam yang ada di sampingnya. Raut wajah Diya berubah. Inikah jawabannya.
            Jarak melenyap. Sepertinya bapak itu tidak merasakan hawa kehadirannya. Diya mengambil sebuah aqua yang berada di depannya. Melepaskan plastik aqua yang masih menutupi sebagiannya. Saat itu bapak baru menyadari bahwa Diya telah persis di depannya. Begitu dekat.
            “Apa bapak masih mengingatku?” suaranya sedikit bergetar.
            Bapak hanya diam. Guratan-guratan terlihat di wajahnya. Kedua matanya berwarna cokelat seperti yang Diya miliki. Bapak mencoba menyipitkan kedua matanya mencoba melihat Diya lebih jelas. Tidak ada jawaban hanya kebisuan yang menyelimuti.
            “Apa kau membenciku?” memecah keheningan yang mulai hinggap.
            “Aku ingin membenci bapak tapi tidak bisa. Darahmu mengalir dalam diriku. Kau adalah bapakku.” Tubuhnya bergetar. Tangis yang tertahan akhirnya tumpah.
            Cukup lama dia diam. Mata bapak mendadak berkaca.
             “Anak bapak sudah dewasa. Sangat cantik seperti ibunya.” Kedua tangannya membelai wajah Diya.
            “Maafkan bapakmu ini...”
Diya memeluk orang yang telah ia tunggu hingga puluhan tahun. Pertemuan itu akhirnya terjadi. Sebuah kehangatan yang tidak pernah ia dapatkan dari orang tua kandungnya sendiri. Tangisan rindu dan penyesalan menyertai keduanya.
***
            Beberapa barang dan baju telah rapi dikemas. Diya mecoba merapikan kerah baju bapak. Wajah bapak terlihat lebih segar. Tubuhnya bersih dan wangi. Rambutnya tersisir dengan rapi. Bapak terlihat berbeda lebih berwibawa. Diya tersenyum puas.
            “Sekarang bapak bisa tinggal di rumah ini. Bapak tidak perlu bekerja seperti dulu. Bapak tidak perlu sakit-sakitan lagi, Diya tidak ingin bapak menyakiti diri bapak sendiri.”
            “Ini sudah cukup, bapak tidak ingin merepotkanmu.” Bapak tersenyum sembari menepuk pundak kanan Diya.
            Diya menggelengkan kepalanya.
“Diya akan membahagiakan bapak. Itu pasti.”
            Bapak hanya tersenyum memandang anaknya. Dia mencoba menghapalkan garis-garis wajah Diya diantara kedua matanya yang mulai sayu termakan oleh umur.
            “Diya pulang dulu ya pak...” Diya memeluk bapak dan mencium kedua tangannya.
            “Bapak sudah bahagia dengan adanya kamu disamping bapak.” Bisikan kecil mengalir lembut ke telinga Diya.
            Bapak mengantarkan kepulangan Diya di teras rumah. Diya menarik segaris senyum. Tidak sabar menunggu hari besok yang menantinya.
            Takdir berkata lain. Tidak ada hari esok. Terakhir kalinya Diya melihat wajah bapak. Senyuman bapak raup menghilang. Sebuah tragedi tragis tidak bisa terhindarkan. Diantara hujan yang menurunkan butir-butir beningnya. Kecelakaan itu memecah kesunyian jalan yang tampak berjaga menginjak senja yang melamur.
Gadis kecil itu berdiri di ujung senja. Menatap diam. Dia mengulurkan tangan kecilnya kepada Diya. Terlukiskan sebuah senyuman pada kedua sudut bibirnya.
Diya menyambut uluran tangan gadis kecil tersebut.
“Kini aku mengerti...”
            “Kau adalah aku.”
Perlahan kedua mata Diya tertutup.
***


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Biarkan waktu yang mengubah segalanya

© Puja Indah Anggraeni, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena