Di
ujung senja dia menatap tajam. Gadis kecil itu berdiri diam dengan dress putih
yang jatuh di bawah lututnya. Rambutnya terurai panjang dengan bando putih yang
menghiasnya. Perlahan melangkah meniti jalan kecil berbatu. Ketika begitu
dekat dengannya, sorot cahaya menerpa semuanya. Anak itu menghilang. Matapun
terbuka.
Cahaya
matahari mengintip dari belahan korden jendela kamar. Sinar lembutnya persis
jatuh di dahi Diya. Beranjak dari tidur dan melirik jam weker yang ada di meja
samping kasurnya. Derap langkah kaki menuju kamar mandi. Matanya masih sayu
walaupun percikan air telah membasahi wajahnya. Kemeja putih dengan jeans hitam
terlihat rapi dikenakannya. Pantulan dirinya terlihat jelas pada cermin. Rambutnya
dikuncir ke belakang. Diya memulaskan pelembab di wajahnya dan menaburkan bedak
tipis. Sentuhan terakhir mengoleskan lip balm pada kedua lembar bibirnya. Diya
mengambil tasnya beranjak keluar dari kamar.
Diya
mulai menyantap sepotong roti dan segelas susu di hadapannya. Ibu duduk di
sampingnya. Tidak ada percakapan. Tatapan matanya syahdu terhadap anak semata
wayangnya.
“Ingat
Diya jangan ngebut di jalan.” Diya mengangguk sebagai jawaban. Sebelum pergi
Diya selalu mencium tangan dan kedua pipi sang ibu.
Diya
tersenyum. Lewat daster batik yang ia pakai, wanita itu tetap berdiri di teras
rumah memastikan Diya pergi dan ketika pulang dia akan berdiri menunggu
kedatangannya. Begitu tulus dan hangat
cinta seorang ibu.
***
Selama
kuliah berlangsung, pikirannya teralihkan dengan mimpi yang dialaminya
akhir-akhir ini. Mimpi itu selalu sama. Diya selalu bertemu gadis kecil itu. Mencoba
menghapal garis-garis wajahnya. Namun wajah itu tidak bisa terlukiskan dalam
ingatannya. Begitu samar bagai dipeluk kabut.
Sepulang
kuliah Diya pergi ke toko buku langganannya yang berada di kawasan dekat
kampus. Diya mengambil sebuah novel sastra dan membaca sinopsis yang ada di
belakangnya. Sesekali dia menengok dunia luar yang sibuk dan padat tiada
hentinya.
Pandangan
Diya kini tertuju pada satu arah. Sosok gadis kecil itu ada di hadapannya. Anak
itu berdiri di trotoar seberang jalan tempatnya berada. Sepasang mata memandang
tepat ke dalam matanya. Diya mencoba menajamkan penglihatannya. Kini Diya
menyakinkan dirinya bahwa ini bukan ilusi tapi sebuah kenyataan.
Sesaat Diya menebarkan
pandangannya ke jalan-jalan yang
membelah kota. Di sana, di atas aspal licin bagaikan kaca, anak itu malah
beranjak dari tempatnya.
“Tunggu...”
Tubuh kecil itu terlihat menusuri
trotoar pinggiran jalan. Jarak diantara mereka berdua tidak begitu jauh. Diya tidak
putus asa, dia terus mengikuti gadis kecil itu. Hingga sebuah pertigaan jalan
jejak itu menghilang.
Matanya tengah sibuk mencari
keberadaan anak itu. Hanya sebuah tempat pembuangan sampah yang terlihat pada
sudut jalan kecil yang sepi. Seorang laki-laki berumur tengah sibuk memilah
sampah-sampah dengan tongkat kayu yang ditangannya. Kemudian memasukannya ke
dalam keranjang bambu di punggungnya yang belum separuhnya terisi. Pakaiannya
lusuh dengan kaki dilapisi sandal jepit yang mulai rusak. Wajahnya terlihat
kusam tidak terawat.
“Permisi, apa bapak melihat anak
kecil lewat sini?”
Ia menghentikan gerakan tangannya. Bapak itu hanya diam. Matanya menatap Diya yang sedang menunggu sebuah jawaban. Cukup lama mereka saling bertatapan.
Ia menghentikan gerakan tangannya. Bapak itu hanya diam. Matanya menatap Diya yang sedang menunggu sebuah jawaban. Cukup lama mereka saling bertatapan.
“Tidak ada...” jawabnya singkat.
Suara parau keluar dari mulutnya.
Terlihat sedikit kekecewaan di
wajahnya. Diya berjalan kembali pulang. Sesekali dia menengok ke belakang, bapak itu masih berdiri
memandangnya dari kejauhan. Diya sempat risih dan mempercepat jalannya.
Beberapa
hari kemudian, sosok itu kembali muncul dihadapannya. Anak itu berdiri di bawah
pohon mahoni besar di tepi jalan raya. Diya mencoba mendekatinya namun dia
selalu menjauh. Kejar-kejaran tidak bisa terhindari. Disaat begitu dekat, jejak
itupun segera menghilang. Hanya tersisa seorang bapak yang mengais sampah
disela-sela rerumputan. Laki-laki yang sama ia temui sebelumnya. Mata mereka
sempat bertemu namun Diya segera mengalihkannya. Benaknya diliputi setumpuk
tanda tanya.
***
Di
ujung senja gadis kecil itu duduk di ayunan yang tergantung pada pohon rindang.
Rambut panjangnya terbang oleh angin yang berhembus menghantam tubuhnya. Ayunan
itu tiba-tiba terhenti begitu saja. Diya tepat berdiri dihadapannya.
“Apa
maksud dari semua ini?”
Iris
matanya berwarna cokelat. Kedua alisnya tebal. Wajahnya putih bersih tanpa ada sedikit
kotoran yang melekat pada kulit halusnya. Anak itu hanya diam. Kedua matanya
hanya tertuju pada perempuan yang memiliki warna mata yang sama dengannya.
“Darahnya
mengalir dalam dirimu.”
Seketika
Diya terhempas dalam sebuah kenyataan. Kedua mata Diya terbuka. Mimpi itu
seolah terlihat nyata. Diya masih dalam posisi tidur. Tubuhnya masih tertutup
oleh selimut tebal yang membungkusnya. Diya terkapar lemas dengan wajahnya yang
pucat dan penuh keringat, matanya semu merah. Suhu tubuhnya tinggi.
.
Jerit batinnya ingin segera bergerak namun terhenti oleh tubuhnya yang tidak
mampu melakukannya. Hanya waktu yang bisa memulihkannya. Diya hanya bisa
menunggu.
“Apa ibu masih ingat kapan pertama kali
mengadopsiku?”
Keheningan
memecah diantara mereka berdua. Ibu menoleh sebentar pada ayah yang ada di muka
pintu kamar. Ayah hanya mengangguk
kecil.
“Saat
itu kamu masih kecil. Usiamu baru beranjak 2 tahun. Pertama kali melihatmu,
kami berdua langsung yakin memilihmu untuk mengisi kehidupan kami yang penuh
akan penantian seorang anak. Kau hadir dan membahagiakan hidup kami.”
“Menurut
ibu, apa kedua orangtua kandungku telah membuangku?”
Ibu
sempat terkejut dengan lontaran yang Diya keluarkan.
“Orangtua
mana yang ingin membuang anaknya. Pasti ada alasan dibalik semua ini. Kau tidak
boleh berpikiran sempit seperti itu.”
“Apakah aku patut membenci mereka selama ini?”
Tiba-tiba air matanya mengalir pelan.
Ibu
segera menarik tubuh Diya ke dalam pelukkannya. Dia tidak bisa membiarkan
anaknya menangis menahan keperihan yang sangat mendalam.
“Kau
tidak boleh membencinya. Ingat merekalah yang melahirkanmu. Maafkan ibu,
seandainya ibu tahu keberadaan mereka, semua tidak akan seperti ini.”
Tangisan
Diya tak tertahankan.
***
Gadis kecil itu selalu hadir dalam
mimpinya. Namun, Diya mencoba untuk menghapus semua ingatan tersebut dan menenangkan
pikirannya. Siapa sangka anak itu kembali muncul dihadapannya. Diantara
kerumunan orang pasar yang silih berganti dengan kesibukannya masing-masing. Anak
kecil itu masih bisa terlihat jelas oleh kedua matanya. Anak itu mulai
melangkah balik menjauh dari dirinya. Diya mencoba menahan kedua kakinya untuk
tetap berada disini. Namun tidak bisa. Sekali lagi Diya mengayunkan langkahnya.
Pertanyaan itu masih belum terjawab.
Busur matanya menerobos orang-orang
yang dilewatinya. Berharap dapat menangkap anak itu dari kejauhan. Diya mulai
memasuki suatu gang kecil. Diya berhenti tepat dimana jejak anak itu kembali
menghilang. Sebuah rumah kecil beratap rumbai dedaunan kering. Rumah berdinding
batu setengah triplek. Sedangkan lantainya hanya beralaskan tanah. Halaman
kecilnya tertutupi oleh barang-barang bekas tidak layak pakai. Seorang bapak
sedang duduk di teras rumah sembari membersihkan beberapa gelas aqua plastik
dan memasukannya ke dalam karung putih kusam yang ada di sampingnya. Raut wajah
Diya berubah. Inikah jawabannya.
Jarak melenyap. Sepertinya bapak itu
tidak merasakan hawa kehadirannya. Diya mengambil sebuah aqua yang berada di
depannya. Melepaskan plastik aqua yang masih menutupi sebagiannya. Saat itu
bapak baru menyadari bahwa Diya telah persis di depannya. Begitu dekat.
“Apa bapak masih mengingatku?” suaranya
sedikit bergetar.
Bapak hanya diam. Guratan-guratan
terlihat di wajahnya. Kedua matanya berwarna cokelat seperti yang Diya miliki.
Bapak mencoba menyipitkan kedua matanya mencoba melihat Diya lebih jelas. Tidak
ada jawaban hanya kebisuan yang menyelimuti.
“Apa kau membenciku?” memecah
keheningan yang mulai hinggap.
“Aku ingin membenci bapak tapi tidak
bisa. Darahmu mengalir dalam diriku. Kau adalah bapakku.” Tubuhnya bergetar.
Tangis yang tertahan akhirnya tumpah.
Cukup lama dia diam. Mata bapak
mendadak berkaca.
“Anak bapak sudah dewasa. Sangat cantik
seperti ibunya.” Kedua tangannya membelai wajah Diya.
“Maafkan bapakmu ini...”
Diya
memeluk orang yang telah ia tunggu hingga puluhan tahun. Pertemuan itu akhirnya
terjadi. Sebuah kehangatan yang tidak pernah ia dapatkan dari orang tua
kandungnya sendiri. Tangisan rindu dan penyesalan menyertai keduanya.
***
Beberapa barang dan baju telah rapi
dikemas. Diya mecoba merapikan kerah baju bapak. Wajah bapak terlihat lebih
segar. Tubuhnya bersih dan wangi. Rambutnya tersisir dengan rapi. Bapak
terlihat berbeda lebih berwibawa. Diya tersenyum puas.
“Sekarang bapak bisa tinggal di
rumah ini. Bapak tidak perlu bekerja seperti dulu. Bapak tidak perlu
sakit-sakitan lagi, Diya tidak ingin bapak menyakiti diri bapak sendiri.”
“Ini sudah cukup, bapak tidak ingin
merepotkanmu.” Bapak tersenyum sembari menepuk pundak kanan Diya.
Diya menggelengkan kepalanya.
“Diya
akan membahagiakan bapak. Itu pasti.”
Bapak hanya tersenyum memandang
anaknya. Dia mencoba menghapalkan garis-garis wajah Diya diantara kedua matanya
yang mulai sayu termakan oleh umur.
“Diya pulang dulu ya pak...” Diya
memeluk bapak dan mencium kedua tangannya.
“Bapak sudah bahagia dengan adanya
kamu disamping bapak.” Bisikan kecil mengalir lembut ke telinga Diya.
Bapak mengantarkan kepulangan Diya
di teras rumah. Diya menarik segaris senyum. Tidak sabar menunggu hari besok
yang menantinya.
Takdir berkata lain. Tidak ada hari
esok. Terakhir kalinya Diya melihat wajah bapak. Senyuman bapak raup
menghilang. Sebuah tragedi tragis tidak bisa terhindarkan. Diantara hujan yang
menurunkan butir-butir beningnya. Kecelakaan itu memecah kesunyian jalan yang
tampak berjaga menginjak senja yang melamur.
Gadis
kecil itu berdiri di ujung senja. Menatap diam. Dia mengulurkan tangan kecilnya
kepada Diya. Terlukiskan sebuah senyuman pada kedua sudut bibirnya.
Diya
menyambut uluran tangan gadis kecil tersebut.
“Kini
aku mengerti...”
“Kau adalah aku.”
“Kau adalah aku.”
Perlahan
kedua mata Diya tertutup.
***