“lima ribu, enam ribu, tujuh ribu.....”
Senyum lebar terlihat dari wajah Surya. Hampir semua gorengan telah laku terjual. Tiba saatnya untuk pulang. Matahari mulai menenggelamkan dirinya, langit telah memancarkan warna senjanya. Kayuh sepeda ia injak dari satu rumah kerumah lainnya. Suara azan maghrib pun berkumandang, kayuh sepeda semakin cepat ia kayuhkan.
“Assalamualaikum...”
“Kenapa pulang telat? Cepat sholat nanti terlambat.”
Lepaskan sandal, segera mengambil air wudhu dan pergi ke masjid. Setiap hari Surya selalu menyempatkan waktu untuk sholat berjamaah di masjid karena selain letaknya yang dekat dan merupakan sebuah kebiasaan yang ditanamkan dari kecil oleh kedua orang tuanya. Sepanjat doa ia utarakan kepada Tuhan setelahnya.
“Bapak belum pulang ya bu?”
Surya tanyakan itu pada ibunya yang sedang sibuk membuat kue pastel untuk dijual. Memang dia menganggap ibunya adalah wanita yang paling hebat didunia ini. Semua yang ia buat pasti terasa enak di lidahnya ini dari kue pastel, gorengan, kue cincin, dan banyak lagi. Setiap pagi beliau akan menjajakannya di pasar. Kemudian sore harinya Surya yang bergantian menjualkannya di tempat lain sebagai hasil tambahan.
“Ohh, bapak lagi mengantar mayat ke luar kota, mungkin tengah malam baru pulang.”
Surya bisa memaklumi pekerjaan ayahnya yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit. Apa saja dapat ia lakukan seperti halnya menjadi supir yang mengantarkan orang yang telah meninggal. Memang hal ini membuatnya kagum dengan beliau. Sungguh pekerjaan yang sangat mulia, Surya patut bangga pada ayahnya.
***
Seragam putih biru telah siap dikenakan. PR dari bu guru telah diselesaikan, buku pelajaran untuk hari ini telah tersusun rapinya di tas. Saatnya untuk berangkat.
“Kakak, ikut...”
“Kakak, ikut...”
Suara keras Harun yang berlari kehadapan Surya yang mau beranjak pergi ke sekolah.
“Harun gak boleh ikut. kakak mau sekolah, bukan mau bermain. Sekarang Harun temani mama pergi ke pasar yaa?”
Senyuman polos Harun membuat hati Surya tenang. Memang Harun masih kecil setidaknya berumur 3 tahun namun dia sangat pengertian. Sangatlah menyenangkan menghabiskan waktu bersamanya.
Suara ramai semakin terdengar jelas dari kelas Surya. Balon warna-warni beserta pita yang bergantungan di dinding dan dilangit atap mengisi ruang kelas Surya. Sepertinya Surya melupakan suatu hal penting pada hari ini. Sebuah kue ulang tahun terletak di atas meja kecil dan seutas ucapan selamat ulang tahun pada sang wali kelas tertulis di depan papan tulis. Bu guru pun datang dengan lantunan lagu selamat ulang tahun pada beliau. Surya hanya bisa terduduk sambil tersenyum dan melantunkan lagu yang sama bersama teman-temannya. Saatnya untuk berfoto bersama, Surya maju ke depan bersama teman-temannya saling merapatkan diri dan tersenyum turut berbahagia atas semua ini. Namun, setelah itu sepotong kue terlempar ke muka Surya.
“Happy birthday Surya”
Teriakan keras teman-teman mengejutkan Surya yang baru teringat bahwa hari ini bertepatan juga dengan hari kelahirannya. Sungguh suatu kejutan yang luar biasa. Ucapan selamat silih berganti dari teman-temannya. Benar-benar hari yang tak akan terlupakan dalam kehidupannya. Seluruh baju seragam Surya penuh dengan tepung terigu dan muka yang hancur akibat lemparan kue dari beberapa temannya.
Sampai di rumah, suara tawa keras keluar dari mulut kakak sepupu Surya, Mona yang sedang berdiri di depan rumahnya. Surya sangat dekat dengan Mona hingga menganggap sebagai kakak kandungnya sendiri.
“Waah, sepertinya adikku dikeroyok banyak orang yaa..” ucapnya sambil tertawa keras.
“Aduh, Surya kotornya, cepat ganti baju sana!” sang ibu dengan tegas, sepertinya mau meledak dengan keadaan Surya yang seperti ini.
Kedatangan Mona sepertinya memang khusus untuk merayakan ulang tahunnya walaupun harus menempuh perjalanan selama tiga jam untuk ke tempat Surya. Dia sengaja mengajak Surya serta yang lainnya untuk ikut merayakan dengan makan bersama disuatu rumah makan. Hidangan Ketupat Kandangan dengan lahapnya Harun santap saat itu. Sepertinya dia memang sedang kelaparan. Surya hanya menatap geli terhadap kelakuan adiknya itu.
“Ini hadiah ulang tahunmu” Suatu benda Mona keluarkan dari suatu kantong plastik, sepertinya berukuran besar.
“Celengan?” ucap Surya dengan heran
“Hmm, celengan kenapa? Hadiah yang baguskan?”Mona menambahkan.
Sungguh untuk pertama kalinya ada seseorang yang memberi suatu hadiah ulang tahun pada Surya berupa celengan, apalagi berbetuk ayam. Menurut Surya itu cukup menggelikan.
“Dulu kau pernah bilang bahwa kau ingin sekali pergi ke pulau Jawa kan? Dan celengan inilah cara untuk pergi ke sana. Kau mengertikan, kenapa aku memberikannya?”
Surya hanya tersenyum sambil memegang celengan pemberian kakaknya itu. Memang pergi ke pulau Jawa adalah impian Surya, mau pergi ke kota mana saja asalkan berada di pulau Jawa dia akan merasa puas. Mungkin celengan inilah yang akan membuka jalannya untuk pergi ke sana ketempat impiannya.
Tiga lembar uang seratus ribu rupiah dari Mona ia masukan ke dalam celengan itu, kemudian disusul dengan uang simpanan yang sering ia simpan dikotak kecil. Satu persatu uang itu masuk ke dalam sana seperti satu persatu langkah Surya menuju ke tempat impiannya.
***
Satu setengah bulan tak terasa telah berlalu. Celengan itu sepertinya telah mulai terisi banyak. Senyum lebar terpancar dari wajah Surya.
“Surya, mau ikut mancing?” Sang ayah sedang mempersiapkan beberapa alat pancing. Memang beberapa hari ini adalah cuaca yang bagus untuk memancing lumayan dapat ikan untuk dimakan pada malam harinya.
“Mama, Surya pergi dulu yaa...”
Suara bunyi sepeda motor sepertinya tidak menganggu tidur siang Harun yang terbuai dalam mimpinya. Biasanya Surya dan ayahnya akan pergi memancing di sungai dan jaraknya pun lumayan jauh dari rumah. Walapun melelahkan namun karena ini adalah sebuah hobi maka semua lelah yang ada di tubuh tak akan terasa.
“Surya, sepertinya malam ini kita bisa makan besar.” Raut wajah sang ayah yang gembira membuat hati Surya ikut merasakan kegembiraan itu juga.
“Ahh, bapak saya dapat ikan!”
Rasa puas dan senang semakin menambah kelengkapan hidup Surya pada hari ini. Seekor ikan gabus besar ia dapatkan dengan susah payah setelah menunggu lama akhirnya berbuah tidak sia-sia. Bau harum dari bumbu yang ibu masakan semakin menambah kelezatan makan malam ini apalagi ditambah dengan ikan hasil tangkapan sendiri. Bahkan sepertinya Surya dan adiknya tidak cukup dengan satu piring saja.
“Mama tambah lagi” ucap Harun sambil mengunyah nasi yang masih ada dalam mulutnya.
“Sepertinya aku akan tidur nyenyak pada malam ini.” Pikir Surya.
Malam semakin larut jam menunjukkan pukul satu malam. Tiba-tiba saja lampu padam. Sejenak Surya terbangun namun segera melanjutkan tidurnya. Tidak lama suara dentuman keras dari celengan yang jatuh mengejutkan Surya yang tertidur lelap. Bagaimana celengan ini bisa jatuh apakah seekor kucing yang menjatuhkannya. Memang pintu kamar Surya pada saat itu sengaja untuk tidak ditutup. Bau asap tercium dari hidung Surya. Perasaan Surya pun mulai tidak enak.
“Kebakaran, kebakaran!”
Surya yang sedang tertidur segera bangkit dan melihat warna merah menyala yang ada di belakang jendelanya. Suara ketuk pintu terdengar keras. Ayah dan ibu yang baru saja bangun sangat terkejut.
“Surya, cepat bawa Harun keluar!”
Surya pun dengan segera mengangkat adiknya yang tidak mengetahui apapun. Langkah Surya pun semakin cepat untuk keluar dari rumah. Satu rumah kayu di belakang rumahnya sudah habis terbakar mungkin sasaran api selanjutnya adalah rumah Surya. Rasa panik, gemetar, dan pikiran kosong sempat menghampiri Surya. Harun yang melihat warna merah di langit mulai takut dan menangis kencang.
“Apa yang harus kulakukan?” pikr Surya panik. Tangan Surya memeluk erat menenangkan sang adik yang menangis keras. “Dimana ayah dan ibu? Apa mereka selamat? Kenapa pemadam kebakaran yang baru datang cuma satu saja? kemana yang lainnya?”
Mata Surya mulai berair. Rasa khawatir dan tidak percaya membuat tubuhnya tidak berdaya sepertinya rumah bagian belakang telah mulai dilahap si jago merah itu.
“Surya, Harun, jangan mendekat ke sini, berbahaya!” Ayah Surya yang panik mengangkut barang-barang berharga yang mungkin bisa diselamatkan.
“Celenganku?” entah mengapa pikiran itu terlintas begitu cepat di kepala Surya. “Roni, aku titip Harun bentar ya!”
Dengan cepat Surya pergi untuk mengambilnya. Harun pun ia tinggalkan di pinggir jalan bersama temannya. Segerombol orang berkerumun di depan rumah Surya. Mereka saling membantu menyiramkan air yang mulai merambat ke rumahnya. Ada juga yang membantu ayah Surya untuk mengangkut barang untuk diselamatkan. Sedangkan ibu, Surya pun tak tahu keberadaanya. Entah kerasukan setan atau apa, yang sekarang ada dipikran Surya hanyalah celengan itu. Namun seseorang menarik tangan Surya yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
“Jangan masuk ke dalam, berbahaya!”
“Celenganku pak....”
“Biar bapak yang ambilkan!”
Surya tidak sadar bahwa tindakannya itu bisa saja membahayakan dirinya sendiri dan tentunya sang ayah yang sedang mengambilkan sebuah benda yang sangat berarti itu. Tapi, begitu ia menyadarinya, api sudah semakin besar, percik-percik api mulai berjatuhan dari rumahnya yang mulai terbakar habis.
“Pak, bapak...”
Air mata Surya mulai jatuh. Perasaan bersalah mulai masuk ke dalam dirinya. Tidak seharusnya dia menyuruh ayahnya melakukan hal berbahaya seperti hanya untuk sebuah celengan. Ayah cepatlah kembali, itulah permohonan Surya untuk saat ini. Ternyata benar sang ayah kembali dengan celengan yang ada di tangannya. Setelah itu api itu benar-benar melahap rumah Surya.
Sejak kejadian itu, ayah Surya tidak bisa berbicara selama satu hari, ibunya pun sempat berkali-kali pingsan tak percaya dengan semua ini. Surya hanya bisa duduk menyandarkan dirinya ke dinding. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia hanya bisa memegang celengan yang ada ditangan kanannya.
“Kau tidak apa-apa? Sejak pagi kau tidak bicara apapun?”
Mona duduk di sebelah Surya. Mereka duduk berlawanan arah. Beberapa kali Mona menatap wajap sayup Surya. “Aku yakin Tuhan pasti menunjukan jalan yang terbaik bagi kita. Cobaan ini mungkin salah satunya untuk kita bisa menginstropeksi diri menuju jalan yang terbaik.”
“Surya, bersabarlah. Terimalah semua cobaan ini. Tuhan melakukannya karena sayang padamu.” Tambah Mona lagi.
Mata Suryapun memerah. Dia menelungkupkan kepalanya diantara kedua tangannya yang terlipat di atas lututnya. Suara isak tangis Surya benar-benar terdengar. Mona hanya bisa menempuk pundaknya. Semoga cobaan ini dapat ia lalui dengan tabah.
***
continued
by puja
0 komentar:
Posting Komentar