“Liburan telah tiba”. Siapa yang tidak senang dengan kalimat yang satu ini? Setelah sekian lama berkutat dengan rutinitas dunia kampus seperti kuliah, menyusun laporan, ataupun ujian. Kini saatnya untuk memanjakan diri dan membuat otak untuk lebih fresh. Banyak rencana yang telah ku susun rapi untuk liburan kali ini. Salah satunya adalah menikmati kampung halamanku. Sudah satu tahun ini aku tidak ke sana. Sungguh ketika kau tiba di sana, segala beban pikiran yang ada di otak segera menghilang seolah terhapus oleh hembusan angin.
Satu koper telah ku siapkan dan siap meninggalkan hirup pikuk kota bersama sang ayah. Empat jam bukanlah waktu yang sedikit dalam menempuh perjalanan ke sana. Namun, semangat yang tidak pudar ini membuat ku untuk terus bertahan dan tidak merasa lelah.
Sore yang indah akhirnya tiba juga. Seumpama tata surya, matahari sore masih serta menghangatkan langit seolah masih ingin memberikanku hari. Ku injakkan kaki dengan penuh percaya diri dan senyuman lebar. Seorang adik kecil mendekati ku dan menyambut dengan penuh riang.
Angin semilir pagi awal bulan Juli seolah membuat pengalaman lucu dan kenangan indah akan kampong halamanku tercinta. Sebuah desa kecil yang terletak di Kandangan, Hulu Sungai Selatan dengan namanya “Hamalau”. Mungkin namanya terdengar asing namun dari sinilah pengalaman itu dimulai. Keluar dari hirup pikuk ramainya kota dengan kesibukan yang tiada henti dan menggantinya dengan segarnya angin pagi. Aku mulai mengayuh sepeda saudaraku menyusuri kampung yang telah lama ku tinggalkan. Terlihat olehku rimbunnya pepohonan di sepanjang jalan dan juga semerbaknya bunga hutan serta ramainya kicauan burung. Semakin jauh sepeda ini dikayuh, angin pagi semakin menusuk. Tapi itu bukanlah hambatan karena suasana inilah yang telah lama ku nantikan. Apalagi ketika pulang, “Ketupat Kandangan” yang merupakan salah satu makanan khas Kandangan siap dihidangkan. Ketupat Kandangan yang empuk sangat pas dipadu dengan kuah santan yang gurih enak ditambah dengan aroma ikan haruan yang semakin menambah kenikmatannya.
Walaupun matahari bersinar dengan terangnya namun rasa panas itu seolah terkalahkan dengan hijaunya hutan. Saudaraku mengajak ku untuk berkeliling hutan sembari memetik buah sawo yang telah mencapai musimnya. Memang hutan yang penuh oleh pohon yang rindang, memberikan kesejukan tiap kali kita menghela nafas ditambah dengan hamparan hijaunya hutandan nyanyian alamnya, namun satu hal yang pasti harus diketahui, ketika memasuki hutan janganlah memakan pakaian pendek karena tidak lama setelah kau memasuki hutan, kulitmu segera memerah akibat gigitan nyamuk yang banyak. Selain itu, berhati-hatilah dalam berjalan karena kerap kali kau akan menemukan lubang-lubang jebakan hutan yang tertutupi oleh hijaunya rerumputan.
Kamipun memasuki hutan semakin dalam. Berbagai pohon dengan aneka ragam buah bisa ku temukan, dan salah satu yang kami cari tepat ada di depanku. Dengan menggunakan julukan yang dibawa, saudaraku telah melancarkan aksinya dan aku dengan siap mengambil semua buah yang terjatuh. Bagaimana tidak senang, sawo adalah salah satu buah yang kusenangi. Rasanya yang manis dan segar seolah memanjakan lidah untuk terus memakannya.
Ketika sedang asyik-asyiknya, kami tidak menyadari bahwa ada seseorang yang mematai-matai kami dari kejauhan. Suara dahan pohon yang ribut seolah mengusyik ketenanganku. Aku pun berjalan perlahan menuju arah suara yang ribut itu dengan beberapa batu dikedua genggam tanganku untu mencegah jika terjadi suatu hal yang buruk.
Namun, satu langkah terakhir terlihat olehku seekor kera berwarna hitam dengan ekor panjang atau kebanyakan orang menyebutnya dengan “hirangan” sedang asyik-asyiknya memakan buah-buahan yang terjatuh dari pohon. Tanpa pikir panjang ku lempar batu yang ada digenggamanku dengan kerasnya kearah monyet tersebut. Ternyata bukannya dia menjauh malah mendekat dan semakin mendekatiku. Entah apa yang akan dia lakukan terhadapku. Namun satu hal yang pasti, tidak akan kubiarkan dia menyentuhku. Ku mundurkan langkah kakiku dan membalikkan badan sembari berlari secepat mungkin.
“Alvin, cepat lari ada hirangan….” Ucapku tergesa-gesa sambil menarik tangan saudara laki-laki ku itu. Kami berlari secepat mungkin. Tidak mengkhawatirkan lagi mau digigit nyamuk ataupun jebakan hutan yang terpenting adalah keluar dari hutan ini.
Napas terengah-engah tak bisa terlewatkan. Jadi inilah hasilnya setelah berusaha keras namun hasil yang didapat adalah nihil dan sia-sia. Bukan saja energi yang terbuang tapi kenikmatan untuk merasakan buah sawo yang enak itu harus dikubur hidup-hidup. Setelah itu, monyet itu telah menghilang dan berhenti mengejar kami. Terpikir olehku mungkin sekarang dia sedang menikmati makan dengan puluhan sawo yang telah kami petik dengan susah payah. Mungkin inilah rejeki buat hirangan. Namun, sejak saat itu telah ku tetapkan dihatiku bahwa antara aku dan hirangan tidak akan pernah punya hubungan baik. Karena dialah semua apa yang kuinginkan menjadi berantakan seperti kotak yang telah tersusun rapi kemudian hancur oleh hembusan angin yang deras.
0 komentar:
Posting Komentar