“Aku pergi dulu...”
Surya meninggalkan rumah kecil sebagai tempat tinggalnya sementara disaat rumah yang dulu sedang diperbaiki. Sepedanya ia kayuhkan untuk pergi ke sekolah. Karena letaknya yang jauh, Surya harus pergi lebih pagi agar tidak terlambat. Maklum, letaknya dari sekolah agak lebih jauh dari rumah yang terbakar.
Ujian Akhir Nasional semakin dekat. Rasa gugup dari diri Surya sering muncul, ia harus lebih giat belajar di samping membantu kedua orang tuanya memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
“Surya, sepulang sekolah ini kami mau belajar bersama. Kau mau ikut?”
“Ehm, sepertinya tidak bisa... maaf yaa.”
Teman-teman Surya pun tidak ada yang menentang, mereka seakan mengerti kondisi yang dialami oleh Surya. Mereka hanya bisa membantu Surya sebatas kemampuannya berharap semua yang mereka lakukan setidaknya dapat membantu kehidupan Surya.
“Gorengan, gorengan, gorengan....”
Teriakan Surya dengan gorengan yang ditaruh dibelakangnya. Surya terus menawarkan jualannya pada orang sekitar. Sayang untuk hari ini hanya sedikit jualannya yang laku namun apalah itu semua harus tetap disyukuri.
“Seribu, dua ribu....”
Uang jajan yang telah ia simpan dimasukan ke dalamnya. Memang untuk beberapa waktu ini isi celengan itu tidak bertambah banyak seperti sebelumnya. Maklum, sejak musibah itu terjadi, tentunya pengeluaran semakin banyak. Kebakaran itu telah menghabiskan setengah dari harta keluarga Surya dan perlu waktu yang cukup lama untuk kembali seperti kehidupan semula.
“Harun, jangan ganggu kakakmu yang sedang belajar...”
Surya hanya memberikan senyuman kecil pada Harun yang sepertinya ingin bermain bersamanya. “Maaf ya Harun, kakak harus belajar dulu. mainnya nanti saja ya?”
“Harun!” Ucapan terlontar dari sang ibu yang menegur keras Harun. Harun hanya bisa diam dan lari menjauhi sang kakak. Surya mengganti lembaran dari buku Biologi yang dibacanya. Dua bulan lagi dia harus menempuh ujian kelulusannya. Surya harus mengurangi waktu kerjanya untuk belajar lebih banyak. Doa pada Tuhan pun tak luput ia lakukan.
“Semoga aku bisa lulus dan dapat meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi.”
Sebuah kerja keras akan membuahkan sebuah hasil yang memuaskan. Begitupula dengan Surya tidak akan pernah putus asa untuk mencapai apa yang diimpikannya. Ujian telah di depan mata, sudah saatnya mematangkan diri untuk lebih serius belajar. Penjelasan dari sang guru tak luput dari catatan Surya, sepertinya Surya sangat berkonsentrasi dalam pelajaran satu ini hingga suara panggilan seorang guru kepadanya sempat terhiraukan.
“Surya, bisa keluar kelas sebentar?”
Berita itu sepertinya mengejutkan Surya. Tangan gemetaran membereskan buku yang ada di meja. Tas telah dirangkul pada bahu sepertinya harus meninggalkan pelajaran pada waktu ini.
“Surya, ada apa?”
Surya hanya menatap temannya dengan mata merah, diam kemudian pergi. Surya menyalami tangan bu guru dan dia pun hanya menepuk bahu Surya agar bisa tenang dan tidak panik.
“Hati-hati di jalan.”
Surya mengayuh sepedanya dengan sangat kencang. Perasaannya sekarang tidak menentu penuh dengan rasa takut, panik, dan khawatir. Semoga tidak terjadi apa-apa, itulah harapan Surya saat ini. Rumah Sakit Srimulia telah di depan mata, segera ia parkirkan sepedanya dan berlari ke ruang UGD. Matanya terus mencari dimanakah mereka, ayolah Surya kau harus menemukannya. Sosok wanita yang tak lain adalah ibunya sedang duduk penuh kecemasan.
“Mama, bagaimana keadaan Harun? apa tidak apa-apa?”
Sang ibu hanya memeluk anak laki-lakinya itu. Surya tahu ibunya sangat cemas dan takut sesuatu yang lebih buruk akan terjadi pada anak bungsunya itu. Ini pertama kalinya Harun harus dirawat di rumah sakit, Harun adalah seorang anak yang sangat jarang terkena penyakit dan tentunya kondisi sekarang ini sangat mengejutkan bagi Surya dan orang tuanya.
“Kata dokter, Harun terkena penyakit Tipus. Sepertinya untuk sementara dia harus dirawat disini sampai keadaanya pulih kembali.” Sang ayah datang menepuk pundak istrinya.
“Tidak akan terjadi apa-apa. Asalkan Harun bisa makan banyak, pasti cepat sembuh.” Ayah tersenyum menghibur mereka berdua.
Harun telah dipindahkan ke ruang rawat.Sepertinya dia tertidur pulas walaupun demamnya masih tergolong tinggi. Ibu Surya terus berada di samping Harun dan tidak berpindah kemanapun. Beliau hanya ingin melihat anak kecilnya itu bisa membuka mata dan tertawa ceria seperti biasanya.
”Sebaiknya kau pulang, sudah hampir malam. Biar mama yang jaga Harun.”
Surya hanya menganggukkan kepanya. Sebelum pergi, ia membelai lembut kepala sang adik dan berharap besok ia dapat melihat sang adik mulai tertawa dan tersenyum kembali.
Sepertinya untuk malam ini Surya harus menghabiskan waktunya dengan kesendirian. Tak ada suara teriakan Harun yang memaksanya untuk ikut bermain, tak ada suara sang ibu yang memanggilnya untuk makan malam dan suara sang ayah yang sering bercanda dengannya dan adiknya. Sunyi senyap, Surya mengeluarkan beberapa uang logam seratus dan lima ratus rupiah untuk dimasukkan ke celengannya. Surya tersenyum, sekarang celengan itu mulai terisi penuh. Sepertinya dia harus mempersiapkan celengan baru lagi. Melihat celengan itu setidaknya membuat Surya sedikit gembira dan bisa melupakan sedikit tentang kekhawatirannya pada Harun.
***
“Sepertinya sudah lengkap.”
Beberapa baju Harun telah disiapkan dalam satu tas besar. Perasaan Surya mulai membaik karena Harun mulai membaik dan bercanda layak anak kecil seumuran mereka. beberapa mainan kecil kesukaan Harun tak luput ia bawakan. Surya meneruskan langkah ke ruang rawat Harun, namun sebelum masuk, dia melihat kedua orang tuanya sedang serius mendiskusikan sesuatu.
“Sepertinya Bapak harus meminjam uang buat pengobatan Harun.”
“Kenapa harus pinjam? kenapa tidak pakai uang simpanan saja? Kalau terus meminjam, hutang kita akan makin bertumpuk.”
“Tapi uang simpanan itu hanya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari saja dan juga membiayai sekolah Surya.”
“Terserah bapak saja, mama hanya ingin yang terbaik buat kita semua.”
Surya hanya bisa berdiri di balik dinding itu. Semua pembicaraan itu mengingatkan dia bahwa kondisi ekonomi keluarganya tidaklah baik. Surya hanya bisa duduk di ruang tunggu. Tas itu hanya tergeletak di sampingnya. Surya hanya bisa merenungkan semua ini.
“Apakah sesulit ini?” ia bergumam pelan, “Apa yang bisa ku lakukan untuk mereka? apa aku hanya bisa diam saja melihat kedua orang tuaku sedang kesulitan?”
“Tuhan, berikan aku jalan...” Bisik Surya dalam hati.
“Surya...kenapa di sini?” Suara sang ayah mengejutkan Surya. “Sebaiknya temani adikmu, untuk hari ini bapak tidak bisa menjaga mereka karena harus mengantar orang meninggal.”
“Jadi, tolong jaga mereka ya...” Ayah hanya menepuk pundak Surya. Senyuman terpancar dari wajahnya. Apakah senyuman itu benar-benar sebuah senyuman? Tapi, Surya yakin pasti dibalik senyuman itu terdapat sebuah beban besar yang harus ditanggungnya.
Tiba-tiba Surya teringat akan celengannya. Mata Surya terbuka sedangkan Harun masih tertidur pulas. Tuhan telah memberikan jalan padanya lewat celengan itu. “Aku bisa menggunakan celengan itu untuk membiayai pengobatan Harun.”
Surya pun tanpa pikir panjang pulang ke rumah mengambil celengan itu. Memang celengan itu adalah harapan Surya untuk meraih impiannya, tapi impian masih dapat diraih dengan usaha lain, berbeda dengan Harun yang sedang kesakitan. Mungkin celengan ini bisa membantu kondisi orang tuanya. Surya hanya ingin mereka bisa tersenyum dengan lebarnya tanpa ada beban berat dibaliknya. Inilah usaha kecil yang Surya bisa lakukan.
“Mbak, saya ingin membayar administrasi atas perawatan Harun Yudasari.”
Surya mengeluarkan celengan itu dari tasnya kemudian ia serahkan pada pegawai itu. Dia hanya bisa memandang aneh pada Surya. Mungkin ini adalah sesuatu yang aneh yang pertama kali dilihatnya.
“Maaf, sepertinya saya tidak bisa menerima ini. Apa anda tahu berapa jumlah uang yang ada dalam celengan ini? Anda harus membayar biayanya sebanyak satu juta rupiah. Apakah celengan ini cukup untuk membiayai semua ini?”
Ucapan itu membuat Surya sedih, ia hanya bisa mengucapkan maaf pada nona itu.
“Hei, nak... tunggu sebentar.” Seorang bapak menghentikan langkahku.
“Biar bapak bantu kamu menghitung uang yang ada di dalamnya, mungkin saja uang dalam celengan ini cukup untuk membiayai perawatan adikmu.” Senyuman bapak itu menghapus semua kekecewaan Surya pada orang itu. Surya pun yakin bahwa usaha jerih payahnnya dalam celengan ini tidak berbuah sia-sia.
Celengan itu telah pecah. Mereka pun segera menghitung uang yang ada di dalamnya.
“700.000.... tidak akan cukup.” kekecewaan terpancar di muka Surya.
“Jangan begitu, melihatmu berusaha keras membantu adikmu membuat ku tersentuh. Jarang ada anak yang mau memecahkan celengannya hanya untuk membiayai adiknya. Tenanglah, aku akan membantu mu menutupi kekurangannya.”
“Terima kasih...” Surya hanya bisa menundukan kepalanya dengan tangisan gembira.
Setelah itu, bapak itu membantu Surya menyerahkan uang itu. Beliau juga membantu menyelesaikan beberapa urusan administrasi adiknya. Diskusi kecil sempat terjadi diantara keduanya. Surya hanya menatap berharap semua ini tidak akan sia-sia. Bapak itu kembali dan tersenyum pada Surya.
“Berhasil, ini kwitansi pembayarannya. Kamu harus menyimpannya baik-baik.”
“Terima kasih pak, anda sangat membantuku...”
“Surya...” sang ayah tepat berdiri di depan Surya. Langkah kecil Surya dengan mata merah dan senyuman kecil terus mendekati ayahnya.
“Ayah ini kwitansi pembayaran pengobatan Harun.” Untuk beberapa saat ayah Harun hanya bisa terdiam.
“Dari mana kau dapat uangnya?”
“Aku memecahkan celengan ku. Aku hanya ingin membantu Harun saja. Bapak jangan marah ya? Aku benar-benar ikhlas melakukan semua ini. Semua ini kulakukan karena aku sayang pada Harun.” Air mata Surya membasahi pipinya. Sang ayah yang hanya diam tanpa kata. Beliau pun merendahkan dirinya dan memeluk Surya.
“Terima kasih nak, Bapak berhutang budi padamu.”
***
“Maaf celengan, aku harus memecahkanmu. Ternyata benar aku harus menggantinya dengan yang baru.”
Pecahan celengan itu masih ada di tempat Surya. Sungguh sulit untuk membuangnya. Celengan itu sangat memberikannya banyak kenangan baik manis maupun pahit. Suara riang Harun bermain bola membuat Surya merasa bahwa usahanya selama ini tidaklah sia-sia. Kini dia merasa lebih baik hingga dia mendapatkan berita yang membuatnya patut bangga akan dirinya. Surya berhasil lulus Ujian Akhir Nasional dan mendapat predikat lima besar terbaik di kabupatennya.
Kebahagian, kepuasan, dan rasa syukur terpanjat dari diri Surya. Namun, rezeki itu kata orang tidak akan pergi kemana-mana. Bapak yang membantu Surya saat di rumah sakit datang ke rumahnya. Ternyata bapak itu bekerja di sebuah dinas pendidikan dan mengajak Surya untuk ikut beasiswa prestasi. Tentu saja kesempatan itu takkan dibuang.
“Mama...Surya lulus dan bisa dapat beasiswa bersekolah di Jawa.”
Sang ibu memeluk Surya dengan erat mendengar kata-kata Surya barusan itu. air matanya tak berhenti dan rasa syukur yang sangat luar biasa.
“Kini, aku bisa berdiri sendiri, aku bisa meraih impianku pergi ke pulau Jawa, aku bisa membanggakan orang tuaku, dan tentu membuat senyuman mereka menjadi benar-benar sebuah senyuman hangat pada anaknya.”
“Tuhan, terima kasih atas semua rezeki ini. Apakah ini balasan dari celengan itu. Mungkin tanpa celengan itu aku tidak bisa berdiri di sini dengan menatap masa depan yang cerah. Mungkin celengan itu telah pecah untuk membantu adikku, tapi celelengan ini jualah yang mengantarkannku sampai di sini.”
Surya menatap langit siang yang cerah. Kini ia memakai seragam putih abu-abu dan tentunya sekarang dia berada di pulau Jawa tempat yang lama diimpikannya. Ia akan terus belajar terus belajar dan tentunya kerja keras untuk menggapai impiannya yang lain.
“Sepertinya, aku butuh celengan baru....”
***
end
by Puja