Teruslah berani melangkah dan capailah mimpi dan impianmu

Senin, 16 Januari 2012

Seuntai Kata Terindah

Sudah tidak terasa waktu terus berjalan selama 19 tahun ini. Kadang terpikir olehku usia yang matang untuk dewasa. Tinggal sedikit lagi ku bisa meraih dan menggapai cita-citaku. Bukanlah waktu yang sedikit untuk mencapai keberhasilan itu tanpa peran kedua orang tua yang membuat terus bertahan dan menatap lurusnya kehidupan ini.
            Ku lihat disebelihatku sebuah album berukuran A4. Ku buka halaman demi halaman. Foto-foto masa kecil bersama mereka menghiasi album itu. Seolah teringat dan kembali kembali ke masa lau, sebuah kenangan indah bersama mereka. Setiap hari saat menuju sekolah, ayah  akan selalu membonceng sadel belakang sepeda motor sambil memegangi tas kerja ayah. Ibu melepas kepergian kita dengan senyumnya yang tidak pernah pudar sambil berdiri di depan pintu rumah mengiringi hilangnya kami dari pandangan. Dan ku pun bersandung riang ketika sepeda motor itu meninggalkan rumah, menyusuri jalan ke arah kota menuju sekolahku. Bau khas yang terpancar dari ayah  mengiringku  sepanjang perjalanan. Terngiang olehku sungguh perjuangan yang luar biasa yang telah dilakukan oleh ayah. Jalan yang mulai berliku, berkerikil, berpasir, berkelok dan berlobang sepanjang jalan tidak mengulurkan semangatnya agar ku bisa menjadi anak yang berguna bagi mereka berdua.
Tanpa sadar, dibalik helm itu air mata ini jatuh sendirinya. Betapa keras sang ayah untuk bekerja bahkan harus bolak-balik dari daerah satu ke daerah lain dan semua itu menghabiskan  waktu sekitar 1,5 jam. Walaupun begitu, beliau bisa menyempatkan diri untuk mengantarkanku pergi ke sekolah. Semua ini beliau lakukan hanya untuk sesuap nasi  bagi ibu dan kami anak-anakmu.
            Meskipun tidak panas, tidak hujan, ayah akan tembus segala medan  demi kelangsungan hidup kami. Sekuat apa tubuh ayah hingga bertahan hingga sekarang? Apa yang bisa kulakukan untuk bisa meringankanku? Air mata ini terus jatuh hingga tiba ke sekolah. Segera ku hapur air mata ini kemudian ku cium tangan ayah yang penuh akan kehangatan kasih sayang. Terlihat oleh ayah mata yang kemerahan ini. Namun, ayah hanya tersenyum tanpa berkata sepatah katapun seolah beliau tahu akan maksud hati ini.
            Akhirnya jam pulangpun tiba. Cuaca yang sudah mendung seperti menandakan hujan turun. Hal itu membuatku mau tidak mau harus segera bergegas agar tidak terkena hujan di tengah jalan. Sesampainya di rumah lalu melepaskan sepatu. Ketika ku  melangkahkan kaki masuk pintu rumah, tercium olehku harumnya masakan dari sang ibu. Ku menengok ibu yang sedang memasakan sayur lodeh kesukaanku. Ku duduk di meja makan dan sekilas menatapi ibuku yang merupakan suatu karunia terbesar dalam hidup ini. Terlihat wajah kuning serupa cahaya bulan yang terus menerangi keluarganya dengan sentuhan cinta dan kasih sayang. Kini  dia semakin kurus entah mengapa hal itu bisa terjadi atau apakah mungkin terlalu banyak pikiran yang ada di kepalanya, tidak ada yang tahu. Pipinya berceruk dan kecerahannya mulai pudar dari bibir dan keningnya. Dulu bibir dan kening sering berkilau.
Ku katakan pada ibu tentang kemenangan ku pada suatu olimpiade. Ku kira ibu segera memeluk dan menciumku ketika mendengar berita bahagia ini. Namun, ibu hanya tersenyum sambil menaruh masakannya di meja makan.
Sedari kecil ku memang mendapatkan curahan kasih sayang dari ibu dan ayah. Namun, tidak pernah sekalipun dia memelukku mengatakan bahwa dia menyanyangiku layaknya seorang ibu pada anaknya. Sempat terpikir olehku kenapa mereka tak pernah menciumku? Kenapa mereka tak pernah memelukku atau mengatakan menyayangiku? Apa mereka tidak pernah menyayangiku? Ku sempat sedih akan hal itu. Ingin sekali ku memberikan ciuman di pipinya dan mengatakan bahwa ku sangat menyayanginya.
Tapi anggapan ku selama ini adalah salah. Di saat ku tertidur seseorang tidak lain adalah ibu. Tak ku sangka dia datang sekedar untuk membelai dan mencium keningku kemudian menyelimutiku dari gigitan nyamuk dan berkata lembut ke dalam bisikan telingaku “Ibu bangga padamu”. Kemudian beliau perlahan meninggalkanku. Air mataku jatuh sedikit demi sedikit. Sekarang aku menyadari bahwa mereka sungguh menyayangiku hanya saja penyampaian rasa cinta itu berbeda dibanding orang tua lainnya. Sejak saat itu, catatan hati ku selalu terpatri “kelak aku akan membuat kalian bangga dan tersenyum padaku” itulah janji seorang anak pada orangtuanya.
Ku tutup album foto itu dan meletakannya kembali. Perlahan kudekati jendela kamar tidurku. Ku pandang percik air hujan yang masih menempel dikaca jendela menjadi buih-buih yang berkilauan terkena pantulan cahaya matahari yang condong ke barat.
Ayah ibu bagaimana kabar kalian hari ini? Aku harap kalian baik-baik saja di sana. Semoga tidak ada air mata dan kecemasan di wajah kalian berdua. Ayah ibu sekarang aku telah dewasa dimana seseorang yang harus berani bertanggung jawab. Kini ku bisa berdiri di jalan yang walaupun itu penuh dengan rintangan dan hambatan serta kerasnya kehidupan ini. Ayah ibu dengarlah ku akan membahagiakan kalian. Ku ingin kalian tersenyum di hari wisudaku dan menatap bangga anakmu memakai toga kebesaran. Kemudian kalian akan menghampiriku dan mengucapkan seuntai kata terindah dalam hidup ku ini, “Kami bangga padamu.”
***

by puja

0 komentar:

© Puja Indah Anggraeni, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena