Rumah bercat putih sederhana semakin nampak di depan mataku. Kaki ku terasa berat untuk melangkah menuju rumah itu. Rasa gugup menyelimuti diriku, keringat dingin dan gemetar. Aku takut menatap Naisya, aku takut dia tidak bisa memaafkan semua yang kulakukan saat itu. Aku takut kalau aku akan benar-benar kehilangan sahabatku. Ku ingin dia kembali pada kami, berkumpul dan melupakan semua hal yang terjadi. Itulah setetes harapan ku padanya. Sunyi menyelimuti rumah yang penuh dengan tanaman hijau. Ketukan pintu telah beberapa kali diketukkan. Tak ada seorang pun yang menjawab bahkan mendengarkan ketukan kami. Seorang ibu tua menghampiri kami.
“Cari siapa nak??...”
“Kami mau bertemu Naisya, apa dia tidak ada di rumah?”
Sang ibu gelisah dan bingung untuk menjawabnya seperti ada sesuatu yang terkunci rapat.
“Sekarang Naisya ada di rumah sakit katanya terkena penyakit kanker. Sampai sekarang keadaannya masih kritis.”
Kedua tangan Naisya menahan tubuhku yang hampir jatuh. Sungguh aku tidak percaya terhadap kenyataan yang terjadi. Segera kulangkahkan kakiku secepat mungkin untuk dapat menemui sahabat yang merupakan belahan jiwaku.
Seorang sahabat dekatku sedang terlentang tidur dengan tenangnya. Ternyata benar mataku melihat Naisya yang terbaring lemah. Ku langkahkan kaki mendekatinya. Mukanya terlihat pucat, tubuhnya tidak berdaya, matanya tertutup.
“Maaf, maaf, sungguh aku minta maaf...”
Air mataku tiba-tiba jatuh begitu saja. Sungguh aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Kedua orang tua Naisya menceritakan semua yang telah terjadi.
“Ternyata semua itu hanyalah salah paham, aku adalah sahabat yang buruk” pikirku. Semua kejadian yang terjadi pada malam itulah bukanlah seburuk yang aku pikirkan. Laki-laki yang Naisya rangkul pada saat itu adalah ayahnya sendiri. Beliau harus melunasi semua hutang yang belum dibayar selama 2 tahun ini.
“Kenapa Naisya tidak mengatakan pada kami, setidaknya kami bisa membantunya semampu kami.”
“Maaf nak, Naisya tidak ingin merepotkan kalian.”
Kini aku mengerti semua hal tentang Naisya. Mengapa dia harus bersikap begitu tertutup pada kami akhir-akhir ini. Kini aku tidak memikirkan lagi tentang semua hal yang terjadi sebelumnya, aku hanya berharap Tuhan dapat menolongnya dari penyakit ini sehingga dia dapat berkumpul sediakala bersama kami.
Setangkai bunga mawar putih selalu kubawakan setiap harinya. Satu tangkai, dua tangkai, hingga sepuluh tangkai telah memenuhi vas bunga menebarkan bau harum dari sang mawar. Sepertinya tetap tertidur lelap hingga sekarang. Aku hanya bisa melakukan ini dan tersenyum berharap dia kan senang bahwa sahabat yang dia sayangi ada didekatnya dengan penuh cinta. Dukungan dari Dirman terus datang agar aku bisa bertahan terhadap semua ini. Setidaknya dia dapat memberikan bintang-bintang itu setiap harinya pada ku dan membuat hatiku tenang dan damai.
“Hana, cepatlah ke rumah sakit...”
Segera ku ambil kunci mobil dan pergi ke sana. Pikiranku saat itu sangat kacau, Naisya hanya mengucapkan sepatah kata itu dengan sangat cepat dan tentunya membuatku sangat khawatir. Ku berlari dengan cepat menuju kamar 201. Sungguh ini membuat ku tidak percaya. Naisya tersenyum padaku , akupun hanya bisa menangis bahagia. Kupeluk sahabatku yang sangat kusayangi itu dengan eratnya.
“Terima kasih Tuhan kau mengabulkan doaku. Kami pun bisa berkumpul bertiga lagi, menghabiskan waktu bersama, canda dan tawa akan bisa kami lalui bersama. Semoga ini bisa kulalui dengan mereka” Selintas pikirku memandang Naisya.
Memang Naisya belum sembuh benar, dokter sedang melakukan diagnosis mengenai kondisinya. Untuk sementara itu, dia harus menginap di rumah sakit. Besoknya, satu tangai mawar putih kubawakan untuk hari ini. Namun sayangnya ketika datang sepuluh mawar putih yang ada telah layu.
“Kenapa bisa layu seperti ini?” pikirku penuh dengan kebingungan
Naisya sedang duduk di kursi rodanya menatapi dunia luar yang penuh dengan keramaian. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku.
“Naisya...”
Ternyata panggilanku tidak terdengar, kupanggil kedua kalinya namun tak terhiraukan. Kulangkahkan kakiku mendekatinya dan menepuk pundaknya. Rasa terkejut sempat menghampiri dia saat aku menepuk pundaknya.
“Kau sedang melamun yaa? Pantas saja panggilanku tidak kau hiraukan”
“Dunia luar sepertinya indah yaa....Walaupun penuh dengan hiruk pikuk manusia, memang lebih indah jika berada di sana dibandingkan terkurung di dalam kamar ini.”
Aku pun hanya menambahkan senyuman padanya
“Hana, bisa bawa aku keluar? Aku ingin menikmatinya, sudah lama aku tidak menghirup udara segar di luar sana.”
Ku dorong kursi roda itu menuju taman hijau yang ada di dekat rumah sakit. Sebenarnya ku enggan untuk mengajaknya ke luar di samping udaranya yang dingin dan kondisi Stella yang agak pucat. Tapi, keinginan Naisya yang besar membuat ku tidak bisa menolaknya. Akhirnya kami berhenti di taman dengan rerumputan segar dan angin luar yang segar.
“Hana, boleh aku tau apa impian mu?”
“Kenapa kau menanyakan hal itu, kau tahukan bahwa aku tidak suka dengan pertanyaan itu?”
“Kau tahu Hana bahwa dunia ini sangatlah indah. Jika kau menikmatinya sungguh kau akan bersyukur kau telah dilahirkan di dunia ini. Setiap manusia sibuk dengan tugasnya masing-masing, perlahan masalah pun muncul, penderitaan, kekecewaan, penghargaan, akan terus menghampiri kita silih bergantinya waktu. Dari situlah kita akan menjadi lebih dewasa dan impian pun akan muncul dipikiran kita. Demi menggapai impian itu, mereka akan terus berusaha hingga impian itu ada di tangan mereka.”
Sejenak kata-kata itu mengalir di pikiranku dengan cepatnya. Entah mengapa kata-kata ini terucap begitu saja. Kini aku tahu apa impianku.
“Aku ingin terus bersama kalian, menghabiskan waktu bersama, menangis bersama, tertawa bersama, hingga kita mempunyai suami, anak, bahkan cucu. Aku ingin terus bersama hingga kita tua. Itulah impianku”
Naisya tersenyum dengan lebarnya. Menurutku itulah senyuman terindah yang pernah aku lihat dari dirinya. Tangan Naisya menarik tanganku seperti ingin menyerahkan sesuatu padaku.
“Ini aku buat dengan jerih payahku sendiri. Mungkin buatmu barang ini hanyalah biasa tapi bagiku tidak anggap saja ini adalah permintaan maafku padamu. Ku buatkan ini khusus untukmu, sahabat yang telah membuka hatiku untuk bisa menerima kehidupan ini.”
Sebuah kalung berbentuk bintang yang terbuat dari kawat dia berikan padaku.
“Hana, mungkin aku tidak bisa memenuhi impianmu itu. Mungkin kekuatan ku tidak akan cukup untuk bersama kalian selama itu.”
Ku pegang tangan Naisya seolah tidak ingin melepas tangan ini.
”Hana, kau pernah mengatakan bahwa kau adalah seperti bintang. Dia akan terus bersinar walau segelap apapun. Dia tidak akan pernah sendiri karena aku akan menjadi bintang bagimu. Terus bersinar mendampingimu dalam keadaan apapun karena aku adalah sahabatmu. Aku adalah bintangmu.”
Naisya menyandarkan dirinya ke kursi roda. Memejamkan mata. Tangannya pun tiba-tiba jatuh begitu saja.
***
Ku pegang erat kalung pemberian Stella pada waktu itu. Angin berhembus kencang menusuk tubuh ini. Langit malam biru gelap tidak terlihat satu bintang pun. Awalnya aku merasa kecewa jika seperti ini.
“Sepertinya hari ini satu bintang bersinar terang.”
Tangan Dirman yang hangat memegang tangan ku dan memberi senyuman. Setidaknya dengan ada dia di sampingku aku bisa melihat sesuatu yang lebih cerah untuk kedepannya.
Kulihat satu bintang bersinar dengan terangnya. Setidaknya aku tidak sendirian di malam ini. Ada Dirman yang tidak akan kulepaskan lagi dan tentunya Naisya yang akan terus bersinar memberi ku sebuah kehidupan yang lebih baik.
“Kini aku punya impian. Aku ingin terus bersama kalian, bersama orang yang kucintai, akan kubuat semua orang yang ada di kehidupanku merasa bahagia akan hidup ini.”
“Aku berjanji, aku akan berusaha menggapai impian itu.”
“Naisya, terima kasih kau telah menjadi bintangku”
Tetaplah bersinar bintangku untuk mengisi warna warni dalam hidupku.
***end
by Puja
by Puja
0 komentar:
Posting Komentar